ARTICLE AD BOX
Salah satu yang tertuang dalam SE Gubernur Bali itu, yakni setiap lembaga usaha dilarang memproduksi air minum dalam kemasan (AMDK) plastik sekali pakai dengan volume kurang dari 1 (satu) liter di wilayah Provinsi Bali.
Hal ini disampaikan Rentin dalam siaran persnya di Denpasar, pada Minggu (13/4). Menurutnya, SE Gubernur poin V, Larangan dan Pengawasan nomor 4 yang berbunyi “Setiap lembaga usaha dilarang memproduksi air minum dalam kemasan (AMDK) plastik sekali pakai dengan volume kurang dari 1 (satu) liter di wilayah Provinsi Bali”, bertujuan untuk menjalankan amanat Permen LHK Nomor 75 tahun 2019 yang tertuang dalam Pasal 2 untuk mencapai target pengurangan sampah oleh produsen sebesar 30 persen dibandingkan dengan jumlah timbulan sampah tahun 2029.
Ia menambahkan, Permen LHK Nomor P75/2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen merupakan bagian dari amanat UU Nomor 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah pada pasal 15 disebutkan bahwa produsen wajib mengelola kemasan dan/atau barang yang diproduksinya yang tidak dapat atau sulit terurai oleh proses alam dan Peraturan Pemerintah Nomor 81/2012, pada pasal 12 – 15 yang mengatur kewajiban apa saja yang harus dilaksanakan oleh produsen. “Menindaklanjuti mandat tersebut maka diterbitkan Permen LHK Nomor P75/2019 yang mengatur lebih teknis mengenai kewajiban pengurangan sampah oleh produsen,” ujarnya.
Dalam lampiran Permen LHK Nomor P75/2019 diatur jenis produk, kemasan, dan/atau wadah pada bidang usaha manufaktur. Salah satunya pada kewajiban pembatasan oleh produsen menyebutkan kemasan botol untuk produk minuman berbahan plastik Polyethylene (PE) dan Polyethylene terephthalate (PET) dibuat dengan volume paling kecil 1 liter. “Tahap pertama dalam pengurangan sampah oleh produsen adalah upaya produsen untuk membatasi timbulan sampah. Secara sederhana adalah bagaimana upaya produsen tidak lagi menghasilkan sampah dari penggunaan produk, wadah dan/atau kemasan yang tidak dapat atau sulit terurai oleh proses alam,” ujarnya.
“Jadi tujuan dikeluarkannya SE tersebut juga untuk mendukung kebijakan dan tujuan pemerintah pusat,” jelas Rentin. Menurut Rentin, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali berupaya menjalankan arahan Pemerintah Pusat dalam akselerasi penuntasan sampah pada hulu yakni dengan pengaturan kebijakan pembatasan timbulan sampah plastik sekali pakai, sehingga jumlah sampah yang dikelola di Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) berkurang.
Kebijakan ini lahir sebagai bagian dari upaya mendorong masyarakat untuk beralih dari konsumsi plastik sekali pakai menuju kebiasaan penggunaan wadah minum yang dapat digunakan kembali, seperti penggunaan tumbler. Langkah ini tidak hanya bertujuan mengurangi sampah plastik, tetapi juga untuk membentuk karakter masyarakat Bali yang lebih bertanggung jawab terhadap lingkungan. Pemerintah juga mendorong pelaku industri untuk merancang ulang kemasan yang lebih ramah lingkungan dan bertanggung jawab atas siklus hidup produknya. Ini sejalan dengan arah nasional dalam pengelolaan sampah berkelanjutan, di mana produsen dapat menjalankan kewajibannya untuk melaksanakan Extended Producer Resposibility (EPR), sehingga tidak lagi hanya berperan dalam proses produksi, tetapi juga harus bertanggung jawab hingga tahap pasca konsumen.
Terpisah Gubernur Bali Wayan Koster menyampaikan dirinya tak mempermasalahkan jika dipanggil Kementerian Perindustrian (Kemenperin) RI buntut melarang produksi air minum dalam kemasan di bawah 1 liter di Bali.
Di sela Sidang Paripurna DPRD Bali di Denpasar, Senin (14/4), Koster justru menegaskan akan datang jika mendapat panggilan dari kementerian.
“Kalau dipanggil saya akan datang dan jelaskan sudah,” kata dia. Namun demikian, hingga saat ini orang nomor satu di Pemprov Bali ini belum mendapat informasi soal pemanggilan Kemenperin kepada dia.
Diketahui Gubernur Bali mengeluarkan Surat Edaran Nomor 9 Tahun 2025 tentang gerakan Bali bersih sampah. Dalam edarannya, Koster turut menyematkan aturan bagi produsen air minum dalam kemasan agar tidak lagi memproduksi dengan kemasan sekali pakai di bawah volume 1 liter demi kebaikan lingkungan, serta melarang distribusi di Pulau Dewata. Regulasi ini disambut baik oleh Kementerian Lingkungan Hidup, bahkan Menteri Hanif Faisol mengaku akan mengawal instruksi ini agar terealisasi dengan baik.
Sebaliknya, Kemenperin melalui Wakil Menteri Perindustrian Faisol Riza ingin memanggil Gubernur Wayan Koster yang dinilai semestinya berkoordinasi lebih dahulu dengan pemerintah pusat sebelum meluncurkan kebijakan. Gubernur Bali Wayan Koster selain mengaku siap dipanggil juga memberi penjelasan awal, bahkan menyampaikan bahwa koordinasi yang dimaksud Kemenperin sesungguhnya bukan keharusan, sebab aturan yang ia buat berlaku hanya di Bali sesuai wilayah kewenangan.
“Panggil saja saya, tidak perlu koordinasi ini kewenangan kepala daerah,” ujarnya. Koster sendiri berulang kali menyatakan tegas dalam memperjuangkan aturan ini, bahkan surat edaran ini menjadi salah satu indikator dalam rancangan perubahan peraturan daerah yang sedang digodok di DPRD Bali. 7 adi, ant